Kamis, 26 Juni 2014

KISAH PENGALAMANKU BELAJAR BAHASA ARAB SECARA OTODIDAK (EPISODE 1)



>>> Manusia Biasa

Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa aku akan tertarik belajar bahasa Arab. Sebab aku adalah orang yang biasa-biasa saja. Aku terlahir dan dibesarkan oleh orang tua yang biasa-biasa saja. Lingkungan tempat aku tinggal pun biasa-biasa saja. Bukan lingkungan yang agamis. Jadi tidak ada yang memotivasiku untuk belajar bahasa Arab pada waktu itu.
            Alhamdulillah sejak kecil aku
sudah bisa membaca al-Qur’an. Ibuku yang mengajariku. Kemudian aku disuruh oleh ibuku untuk menghafal surat-surat pendek yang ada di juz ‘amma (juz 30). Sehabis maghrib aku harus menyetorkan hafalanku di hadapan ibuku. Seingatku, sebelum lulus SD aku sudah berhasil menghafal juz ‘amma. Namun bacaan al-Qur’anku baru sebatas bacaan biasa. Aku tidak mengerti artinya. Dan ketika itu, belum ada keinginan dalam diriku untuk mengerti arti dari bacaan al-Qur’an yang aku baca.
            Sejak kecil aku juga sudah bisa mengerjakan sholat. Guru agamaku di sekolah yang mengajarkannya. Aku sudah tahu gerakan dan bacaan sholat. Hanya saja, aku belum mengerti dengan bacaan yang aku baca ketika sholat. Dan aku memang tidak ada keinginan untuk mengerti waktu itu. Sehingga ketika sholat, aku persis seperti orang yang sedang mengucapkan mantra-mantra. Mulutku komat-kamit tapi aku tidak mengerti sama sekali dengan yang aku ucapkan.  Paling-paling cuma “Alloohu Akbar” yang aku tahu artinya.
            Sebagaimana keadaan masyarakat pada umumnya, aku beragama atas dasar “ikut-ikutan”. Setiap yang dikatakan oleh penceramah di masjid, semuanya aku anggap benar. Aku tak mempermasalahkan siapa pun yang ceramah. Meskipun dia seorang penyanyi, artis, atau pelawak, apabila dia ceramah tentang agama, aku anggap perkataannya benar dan bagus. Dan itulah yang aku ikuti. Tak pernah terpikirkan dalam benakku waktu itu untuk mempertanyakan,  “Apakah yang mereka sampaikan benar-benar sesuai dengan yang diajarkan oleh Alloh dan Rosul-Nya atau tidak? Apakah yang disampaikan oleh para penceramah di masjid, TV, dan radio benar-benar berdasarkan dalil yang kuat dari al-Qur’an dan hadits-hadits yang shohih atau tidak?”. Pokoknya, apapun yang aku dengar, entah dari penceramah, guru, atau siapa saja, aku pun langsung terima begitu saja. Tidak pernah ada keinginan dalam diriku untuk mengkaji kembali ucapan mereka.
            Lucunya waktu itu, setiap buku yang ada tulisan arabnya aku anggap sebagai buku yang bagus untuk dibaca. Buku apapun, baik yang dijual di toko buku, di bus, di kereta, atau dimanapun, jika isinya membahas tetang masalah agama, aku anggap isinya benar dan baik untuk diamalkan. Pernah suatu ketika aku membeli buku yang isinya mengajarkan  tentang zikir-zikir tertentu. Dalam buku itu dijelaskan tentang khasiat zikir-zikir. Dikatakan dalam buku itu, kalau kita baca zikir ini dan itu selama sekian kali, maka kita akan begini dan begitu. Namun tidak dijelaskan dalam buku itu apakah amalan ini memang ada ajarannya dari Rosululloh atau tidak. Dalam buku itu cuma disampaikan, kalau membaca zikir ini selama sekian kali maka akan begini dan begitu. Itu saja. Tanpa ada keterangannya dari al-Qur’an, Hadits dan penjelasan para ulama. Aku pun kemudian tertarik untuk mencobanya. Namun, meskipun aku sudah baca zikir ratusan kali seperti  yang diajarkan, aku tetap tidak mendapatkan hasil apa-apa. Padahal aku sudah sangat serius membacanya. Sebab katanya, kalau aku mengamalkan zikir itu, aku bisa menjadi “orang sakti”. Waktu itu aku masih SMA. Karena di sekitar sekolahku sering terjadi tawuran, maka aku ingin sekali jadi orang sakti agar bisa menang kalau berkelahi. Baru kemudian, setelah aku mengerti tentang pemahaman Islam yang benar, aku baru tahu kalau zikir-zikir semacam itu tidak boleh dilakukan. Sebab tidak ada ajarannya dari Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa Sallam.
            Lagi pula kalau ada zikir-zikir semacam itu, niscaya Rosululloh lah yang akan pertama kali melakukannya, dan beliau tentu akan mengajarkannya kepada para Sahabat beliau. Sebab mereka sangat butuh zikir-zikir semacam itu. Bukankah mereka dahulu sering berperang sehingga tentunya sangat butuh kepada kesaktian untuk bekal berperang. Namun tidak ada keterangannya bahwa Rosululloh dan para Shahabat beliau mengamalkan zikir-zikir semacam itu.
            Demikianlah diriku pada waktu itu. Aku bukanlah orang yang kritis dalam beragama. Aku cuma pengekor. Keadaan diriku dalam beragama persis seperti binatang ternak yang digiring oleh penggembala. Aku hanya manut-manut saja tanpa tahu mau digiring ke mana. Alhamdulillah aku belum sampai digiring ke penjagalan untuk disembelih!
            Oh ya, selain ikut-ikutan, aku dahulu juga sering sok tahu kalau berbicara masalah agama. Aku sering berbicara tanpa ilmu. Pernah suatu ketika guru agamaku meminta siswanya untuk membawa al-Qur’an yang ada terjemahnya. Kemudian di kelas, beliau meminta kami untuk manafsirkan beberapa ayat sesuai dengan ilmu yang kami dapat di sekolah. Aku dan kawan-kawanku pun dengan santainya berkata, “Menurut ilmu  Fisika ayat ini maksudnya begini…….Menurut ilmu Biologi ayat ini tafsirnya begitu…….Menurut saya…….”. Pada waktu itu, kami semua seakan telah menjelma menjadi ahli tafsir kawakan yang sedang  menjelaskan tafsir ayat-ayat al-Qur’an kepada ummat. Padahal bahasa Arab saja kami tidak bisa. Jangankan bahasa Arab, ilmu tajwid kami saja masih belepotan. Hafalan al-Qur'an pun masih cekak. Tapi kami sudah berani-beraninya menafsirkan ayat tanpa didasari ilmu sama sekali. Inna lillaahi wa inna ilaihi roji’un. Padahal berbicara tanpa ilmu termasuk dosa besar yang paling besar.
            Alloh Subhanahu wa Ta’la berfirman (yang artinya):

“Katakanlah: "Robb-ku hanyalah mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Alloh dengan sesuatu yang Alloh tidak menurunkan hujjah untuk itu, SERTA (MENGHARAMKAN) BERBICARA ATAS NAMA ALLOH TANPA ILMU."(QS. Al-A’rof:33)

            Dalam ayat lainnya Alloh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman (yang artinya):

 “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Alloh. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Alloh tiadalah beruntung”.(QS. An-Nahl:116)

            Ibnu Masud Rodhiyallohu anhu berkata:
            Wahai manusia! Barangsiapa yang ditanya tentang ilmu  yang diketahuinya, maka terangkanlah ilmu itu. Dan barangsiapa yang tidak memiliki ilmu tentang hal itu, maka katakanlah, Alloohu alam (Alloh-lah yang lebih tahu). Karena termasuk ilmu ialah engkau mengatakan, Alloohu alam, tentang apa yang engkau tidak ketahui. Sesungguhnya Alloh Taala berfirman kepada Nabi-Nya: “Katakanlah (hai Muhammad): "Aku tidak meminta upah sedikit pun padamu atas da'wahku dan bukanlah aku termasuk orang yang mengada-ada”.”(Atsar shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhori dan Ibnu ‘Abdil Barr. Lihat Buku Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga hal. 201)

                Ada juga peristiwa lain yang aku masih ingat hingga sekarang yang menunjukkan betapa sok tahunya diriku waktu itu. Ceritanya waktu itu aku dan beberapa kawanku sedang berkumpul-kumpul di masjid. Kami pun kemudian berbincang-bincang tentang agama. Masing-masing bebas berbicara apa saja tentang permasalahan agama yang diketahui. Aku pun tak mau ketinggalan. Aku sempat memberikan nasihat kepada kawan-kawanku yang hadir. Dalam nasihatku, aku mengutip sebuah hadits Nabi,   “Uthlubul ilmi faridhotun ‘ala kulli Muslim”. Waktu itu aku tidak tahu kalau hadits yang aku ucapkan itu keliru lafazhnya. Aku tidak menyadarinya karena waktu itu aku memang belum mengerti bahasa Arab. Mestinya yang benar “Tholabul ilmi faridhotun ‘ala kulli Muslim” yang artinya “Menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap Muslim”. Kalau “Uthlubul ilmi faridhotun ‘ala kulli Muslim” artinya “Tuntutlah ilmu oleh kalian, wajib atas setiap Muslim”. Aneh bukan jadinya? Lagi pula secara tata bahasa (Nahwu), yang aku ucapkan itu keliru juga. Yang benar mestinya “Uthlubul ilma”, bukan “Uthlubul ilmi”. Kalau ingat hal itu, aku jadi pingin ketawa he..he…
            Demikianlah keadaan diriku waktu itu. Astaghfirulloohal ‘azhiim wa atuubu ilaih…


***

            Sejak SD hingga SMA aku lalui di sekolah umum. Tentu saja selama di sekolah umum aku tidak diajarkan bahasa Arab. Lalu, kenapa tiba-tiba aku bisa tertarik untuk belajar bahasa Arab? Begini ceritanya…..


Insya Allah bersambung ke episode 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar